Cahaya (Nur) Muhammadi
HUKUM MENZIARAHI KUBURAN GURU TAREKAT SUFI DAN MEMPERSEMBAHKAN KURBAN
Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
Pertanyaan.
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Di Sudan, ada seorang guru yang banyak pengikutnya, para pengikutnya itu melakukan berbagai cara untuk mengabdi kepadanya, menaatinya dan mengunjunginya dengan berbekal keyakinan bahwa sang guru itu termasuk wali-wali Allah. Mereka mempelajari Tarekat Sufi Samaniyah darinya. Di sana terdapat kubah besar milik orang tua sang guru, dengan kubah itu para pengikutnya memohon berkah, mempersembahkan apa-apa yang dianggap berharga oleh mereka sebagai nadzar. Itu mereka lakukan sambil berdzikir disertai dengan menabuh piring dan genderang. Pada tahun ini, guru mereka memerintahkan untuk menziarahi kuburan guru lainnya, lalu para pengikutnya itu pun berangkat, laki-laki maupun perempuan dengan menggunakan ratusan mobil. Apa arahan Syaikh untuk mereka?
Jawaban
Ini kemungkaran dan kejahatan besar, karena pergi untuk menziarahi kuburan adalah suatu kemungkaran, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,
“Artinya : Janganlah kalian mengusahakan perjalanan berat kecuali kepada tiga masjid; Masjidku ini (Masjid Nabawi), Masjidil Haram dan Masjidil Aqsha.”[1]
Lagi pula, mendekatkan diri kepada para penghuni kuburan dengan nadzar, sembelihan, shalawat, do’a dan memohon pertolongan kepada mereka, semua ini merupakan perbuatan syirik, mempersekutukan Allah. Seorang muslim tidak boleh berdoa kepada penghuni kuburan, walaupun penghuni kuburan itu seorang yang mulia seperti para rasul tidak boleh meminta pertolongan kepada mereka, seperti halnya tidak boleh meminta pertolongan kepada berhala, pepohonan dan bintang-bintang. Adapun permainan piring dan genderang yang mereka maksudkan untuk mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala , ini merupakan bid’ah yang mungkar. Banyak golongan sufi yang beribadah dengan cara demikian, semua ini mungkar dan bid’ah, tidak termasuk yang disyari’atkan Allah, sebab menabuh piring yang disyari’atkan hanya dikhususkan bagi wanita dalam acara perayaan pernikahan untuk mengumumkan pernikahan agar diketahui masyarakat bahwa itu adalah pernikahan, bukan perzinahan.
Selain itu, yang termasuk bid’ah dan sarana-sarana kesyirikan adalah membuat bangunan dan mendirikan masjid di atas kuburan, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang memagari kuburan, membuat bangunan di atasnya dan duduk-duduk di atasnya. Hal ini sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam shahihnya, dari Jabir bin Abdullah Radhiyallahu ‘anhu, ia mengatakan, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang memagari kuburan, duduk-duduk di atasnya dan membuat bangunan di atasnya.”[2] Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Artinya : Allah melaknat kaum Yahudi dan Nashrani karena mereka menjadikan kuburan-kuburan para nabi mereka sebagai masjid-masjid.”[3]
Maka seharusnya kuburan itu tidak ada bangunannya (tidak ditembok), dan tidak boleh meminta berkah pada kuburan atau mengusap-usapnya, serta tidak boleh berdoa dan meminta pertolongan kepada penghuninya, tidak boleh juga mempersembahkan nadzar atau sembelihan untuk mereka. Semua ini termasuk perbuatan jahiliyah.
Kaum muslimin hendaknya mewaspadai ini, dan para ahli ilmu hendaknya menasehati sang guru tersebut, memberitahunya bahwa perbuatan ini batil dan mungkar, dan bahwa menganjurkan manusia untuk memohon pertolongan kepada orang-orang yang sudah mati dan berdoa kepada mereka di samping Allah adalah merupakan perbuatan syirik akbar. Na ‘udzu billah. Hendaknya kaum muslimin tidak mengikutinya dan tidak terpedaya olehnya, karena ibadah itu hak Allah semata, hanya Allah yang pantas diseru dan diharap. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
“Artinya : Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu menyembah seseorang pun di dalamnya di samping (menyembah) Allah.” [Al-Jin :18]
Dalam ayat lainnya disebutkan,
“Artinya : Dan barangsiapa menyembah ilah yang lain di samping Allah, padahal tidak ada suatu dalilpun baginya tentang itu, maka sesungguhnya perhitungannya di sisi Rabbnya. Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu tiada beruntung. ” [Al-Mukminun : 117]
Allah menyebut mereka kafir karena mereka menyeru selain Allah, yaitu karena mereka menyeru jin, malaikat, para penghuni kuburan (orang-orang yang telah mati), bintang-bintang dan berhala-berhala. Jika menyeru itu di samping Allah, berarti syirik akbar, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman.
“Artinya : Dan janganlah kamu menyembah apa-apa yang tidak memberi manfaat dan tidak (pula) memberi mudharat kepadamu selain Allah; sebab jika kamu berbuat (yang demikian itu) maka sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk orang-orang yang zhalim.” [Yunus : 106]
Yakni orang-orang musyrik (yang mempersekutukan Allah (berbuat syirik). Kepada siapa saja yang mampu mengingkari kemungkaran ini hendaknya turut serta mengingkarinya, kemudian kepada pemerintahnya, jika itu pemerintah Islam, hendaknya melarang hal ini dan mengajarkan kepada masyarakatnya apa-apa yang telah disyari’atkan dan diwajibkan Allah atas mereka dalam urusan agama sehingga kesyirikan ini bisa dihilangkan.
[Majalah Al-Buhuts, edisi 39, hal. 143-145, Syaikh Ibnu Baz]
[Disalin dari Kitab Al-Fatawa Asy-Syariyyah Fi Al-Masail Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, Penyusun Khalid Al-Juraisy, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penerjemah Amir Hamzah dkk, Penerbit Darul Haq]
__________
Foote Note
[1]. HR. Al-Bukhari dalam Fadlush-Shalah (1197). Muslim dalam Al-Hajj (1397).
[2]. HR. Muslim dalam Al-Jana’iz (970).
[3]. HR. Al-Bukhari dalam Al-Jana’iz (1330). Muslim dalam Al-Masajid (529).
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/1122-hukum-menziarahi-kuburan-guru-tarekat-sufi-dan-mempersembahkan-kurban.html